Minggu, 11 Januari 2009

Kakakku Menderita Schizophrenia

Pdpersi, Jakarta - Kesabaran dan kepasrahan menghadapi pahitnya hidup ini, memang akan berbuah manis. Begitulah yang dialami Susanti Winarni Handoko. Perempuan kelahiran Jakarta, 22 Mei 1934 ini, telah ditinggal ayahnya ketika berusia dua setengah tahun. Bersama Mami dan kakaknya semata wayang, Chrisantini, hidup yang penuh tantangan inipun dijalaninya dengan sabar dan pasrah.

Setelah dewasa, kemalangan yang datang bertubi-tubi pun tak dapat ditolaknya. Kakaknya menderita schizophrenia, penyakit yang saat itu belum dipahami masyarakat, termasuk dokter. Bukan hanya itu, tak lama kemudian Maminya meninggal dunia, dan suaminya pun berpulang ke alam baqa. Jadilah dia satu-satunya pencari nafkah bagi ketiga anaknya dan kakaknya yang sedang ?sakit?.

Hingga kini, puluhan tahun waktu telah berlalu. Memang bukan waktu yang singkat untuk menjalani kehidupan yang cukup getir. Tetapi Tuhan memang tidak buta. Tuhan telah memberikan jalan terbaik pada manusia yang sabar, tekun, ulet dan tabah. Walaupun kehidupannya sangat keras, Susanti kini boleh berbangga. Dia telah berhasil mencetak anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses. Anak pertamanya, Herlina Y Handoko PhD (38), mendapat beasiswa ke USA untuk mendalami rekayasa genetika. Anak kedua, Haryadi (33), bekerja di General Electric, Jepang. Dan yang bungsu, Dr Iwan Suryadi Handoko (31), bekerja di satumed.com.

Berikut penuturan Susanti, saat ditemui pdpersi.co.id di kediamannya yang asri, di bilangan Kota, Jakarta Barat, Jumat (27/10).

Sering Marah-marah dan Selalu Curiga

Awalnya, aku tak melihat tanda-tanda serius pada kakakku, Chrisantini, bahwa dia akan menderita schizophrenia. Aku memang tidak begitu akrab dengan Chris, karena selisih umur yang jauh berbeda. Chris dilahirkan 14 Desember 1925, perbedaan usia kami hampir 10 tahun. Barangkali itu sebabnya aku juga tak terlalu memperhatikan kondisi Chris.

Namun, disaat situasi ekonomi negara ini semrawut akibat pemberontakan G30S/PKI, Chris mulai berubah. Di tahun 1966 itu, Chris --yang saat itu berusia 41 tahun namun belum menikah-- masih bekerja, kalau tidak salah di PT Kimia Farma, Jakarta. Tetapi, sudah tampak keanehan pada perangai Chris. Dia seperti orang depresi, murung, sering mengunci diri dalam kamar, dan selalu timbul rasa curiga pada orang lain, terutama padaku dan Mami.

Tak lama kemudian, Chris keluar dari pekerjaannya. Ketika Mami menanyakan alasannya, dia bilang, banyak karyawati baru sehingga karyawati yang sudah tua tersingkir. Dan dia merasa tersinggung. Padahal prestasinya cukup lumayan. Mungkin saat itu dia stres. Tambahan lagi, sampai setua itu Chris belum berkeluarga. Aku tidak tahu kenapa Chris belum menikah. Padahal waktu itu dia mudah bergaul dengan siapa saja, dan banyak temannya, baik pria maupun wanita.

Prihatin melihat keadaannya, tahun 1967 Mami membawa Chris ke dokter. Sayangnya, waktu itu dokter tidak tahu penyakit yang diderita Chris. Maklumlah, saat itu perkembangan ilmu kedokteran belum sepesat sekarang. Dokter yang memeriksa Chris hanya mengatakan bahwa Chris menderita penyakit saraf.

Dia mulai sering marah-marah dan uring-uringan. Dan semua amarah itu ditujukannya pada Mami, karena hanya dia dan Mami yang ada di rumah. Sementara aku, pada waktu itu, masih bekerja hingga sore hari. Tetapi, sejak anak keduaku lahir, aku berhenti bekerja karena ingin mencurahkan seluruh waktu untuk keluargaku.

Dokter Tak Dapat Menjelaskan

Nah, sejak aku lebih sering di rumah, mulailah aku merasakan sesuatu keanehan pada Chris. Dia selalu marah-marah, curiga dan berpandangan negatif terhadapku. Kalau aku mengatakan sesuatu, selalu ditanggapi yang sebaliknya. Aku jelaskan padanya, bahwa dia salah mengerti. Tapi Chris tidak mau mengerti. Saking dongkolnya, aku pun mulai marah-marah pada dia. Eh, Chris malah menuduh aku dan Mami berkomplot menyudutkannya. Padahal aku dan Mamiku tak bermaksud seperti yang dituduhkannya.

Sejak kejadian itu, Mami, aku dan suamiku berembug untuk membawanya ke dokter. Kami pun membawa Chris ke dokter terdekat, dr We Wang. Oleh dokter, Chris diberi obat. Lumayan mujarab juga obat itu. Dalam satu hingga dua minggu, terlihat perubahan pada perilakunya. Chris jarang lagi menuduh aku melakukan hal-hal yang merugikannya. Lama kelamaan, pekerjaan sehari-hari seperti mencuci dan menyeterika, sudah dapat ditangani sendiri oleh Chris. Kami tentu senang dong atas perubahan itu, karena dia dapat membantu pekerjaan di rumah.

Tapi kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Satu hingga dua bulan kemudian, kadangkala tabiat Chris muncul lagi. Sering marah-marah, curiga dan berprasangka buruk, terutama pada Mami dan aku. Nah, apabila ?kumat?nya datang, aku membawanya lagi ke dokter. Dokter pun memberikannya lagi kapsul yang harus dimakan tiga kali satu hari. Celakanya, ketika aku menanyakan tentang penyakit Chris, dokter hanya bilang dia menderita penyakit saraf, tanpa dapat menjelaskan mengapa penyakit itu bisa menyerang Chris, dan bagaimana cara merawatnya.

Begitulah seterusnya, sampai beberapa tahun kemudian. Jika Chris sedang kambuh, kami selalu membawanya kembali ke dokter. Mungkin inilah kesalahan yang kami lakukan. Sebab, setelah kondisi Chris agak membaik, aku tidak memberi obatnya lagi secara kontinyu. Obat tersebut aku buang. Baru setelah kambuh, aku bawa lagi dia ke dokter.

Aku sendiripun tidak mempunyai pengetahuan tentang penyakit yang diidap oleh kakakku itu. Aku juga tidak membawa Chris ke paranormal atau Shinse, karena aku memang tidak percaya pada mereka. Aku lebih percaya pada dokter. Namun, aku pun menyesalkan sikap dokter yang tidak mau memberi tahu bagaimana mengatasi penyakit Chris.

Seiring dengan perjalanan waktu, aku harus menerima kenyataan pahit. Sekitar tahun 1980-an, Mami meninggal dunia dan tahun 1985 suamiku pun menyusulnya. Sejak Mami dan suamiku meninggal, akulah tulang punggung keluarga. Aku harus mencari nafkah untuk membesarkan ketiga anakku. Belum lagi, beban merawat Chris yang ?sakit?nya semakin tak jelas. Aku pun mulai mencari pekerjaan. Untunglah, aku diterima di PT Alindo, sebuah perusahaan travel. Dari pekerjaan itu, aku dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anakku, serta biaya perawatan Chris.

Tak bisa dipungkiri, kadangkala muncul rasa kesal dan geram pada Chris. Pernah suatu waktu, aku bertengkar dengannya. Rasanya aku ingin mencekik leher Chris, saking geramnya. Tapi untunglah aku segera sadar, jika tidak sabar merawatnya, aku pun akan tertular penyakit Chris. Akhirnya aku berprinsip, bagaimana agar tidak terpengaruh oleh sakit kakakku itu. Aku pun mulai berpikir agar tidak jatuh sakit. Karena anak-anak tidak mempunyai ayah lagi. Mau tidak mau aku harus mencari terobosan. Hanya kita sendirilah yang dapat menolong diri kita, orang lain tidak dapat menolong. Dan bila stres datang saat menghadapi Chris, aku segera minum air putih 2 hingga 3 teguk. Jantungku pun terasa agak tenang.

Penyakit Itu Ternyata Schizophrenia

Waktu pun berjalan terus. Tak terasa, anakku yang sulung, Herlina Y Handoko, tahun 1980 diterima sebagai mahasiswi di Fakultas Biologi Jurusan Genetika Universitas Indonesia (UI). Sedangkan anakku yang paling bungsu, Iwan, di terima di Fakultas Kedokteran Ukrida. Sejak saat itu, aku dan kedua anakku itu mencari tahu apa penyakit Chris.

Mulailah aku berburu informasi lewat koran-koran, majalah, dan buku-buku. Cukup panjang pencarian kami, sampai di tahun 1988, aku membaca sebuah artikel yang mengupas masalah schizophrenia di salah satu media massa nasional. Aku sempat kaget membacanya. Betapa tidak, dalam artikel itu dijelaskan ciri-ciri penyakit schizophrenia, yang ternyata mirip dengan yang dialami Chris. Yaitu pemurung, gelisah, dan mudah curiga. Sementara itu, Herlina dan Iwan juga mulai mencari literatur-literatur kesehatan di kampusnya.

Untunglah, perburuan itu tak sia-sia. Dari artikel-artikel dan buku-buku yang aku baca, aku dapat menyimpulkan, bahwa penyakit yang diderita Chris adalah schizophrenia (di Indonesia disebut skizofrenia-red). Penyakit itu memang menahun, atau jika diistilahkan, sebelumnya sudah tanam bibit. Kadang umur 15 tahun seseorang dapat terkena schizophrenia, dan dampaknya baru terlihat beberapa tahun kemudian.

Aku lantas teringat peristiwa yang menimpa keluargaku beberapa tahun yang lalu, saat bapakku meninggal. Ketika itu usiaku dua setengah tahun dan Chris berusia 12 tahun. Semasa hidupnya, Bapak sangat memanjakan Chris. Maklum, Chris anak paling tua. Apapun yang diinginkan oleh Chris, selalu dikabulkannya, bahkan kalau dipikir sampai melebihi batas.

Nah, setelah Bapak meninggal, semua tanggung jawab pun beralih ke Mami. Sebenarnya, Mami telah memberikan perhatian dan kasih sayang yang sama pada Chris dan aku. Tidak pernah membeda-bedakan. Tapi Chris selalu penuh kecurigaan dan menganggap Mami selalu membelaku. Padahal ini semua hanya perasaan dia saja.

Setelah penyakit Chris kami ketahui, Herlina dan Iwan terus mencoba memberi obat-obatan yang dibutuhkan oleh tantenya itu. Apalagi, waktu itu Herlina kebetulan mendapat beasiswa ke Amerika. Dia pun selalu menanyakan perkembangan penyakit tantenya, dan membandingkannya dengan kondisi penyakit itu di sana.

Akhirnya kami memberi sendiri obat-obatan untuk Chris, misalnya valium. Kalau Chris sedang gelisah, kami menambah dosis valiumnya, dan dia pun terlihat lebih tenang. Ini terus dilakukan selama beberapa tahun. Kami memang tidak lagi membawanya ke dokter. Aku dan kedua anakkulah yang merawatnya. Sampai di tahun 1997, Chris terkena stroke dan kepikunan, sehingga harus dirawat di rumah dengan menyewa suster.

Setelah Chris terserang stroke, segala keperluannya dibantu oleh seorang suster seperti makan, minum, memakai baju bahkan sampai ke kamar kecil. Sebelumnya, ini tidak pernah terjadi. Sewaktu masih menderita schizophrenia saja, segala keperluannya seperti mencuci, menyeterika dan mandi dikerjakannya sendiri.

Saat ini, kondisi Chris malah lebih parah. Dia lebih sering berhalusinasi. Seringkali, tiba-tiba dia bilang, ?tuh? ada orang lewat?, atau ?tuh? ada kucing di pohon?. Padahal, setelah aku lihat, semua itu hanya halusinasinya. Tak jarang pula, Chris mengamuk tiba-tiba. Tapi semua itu aku hadapi dengan sabar. Aku sudah bertekad merawat Chris sampai akhir hayatnya.

Memang, merawat penderita schizophrenia bukan hal yang mudah. Perlu kesabaran dan ketabahan ekstra. Kita juga harus mengusahakan agar posisi kita lebih rendah atau sama dengan si penderita. Karena dengan memposisikan diri seperti itu, penderita tidak merasa tersinggung atau digurui. Orang tua juga jangan merasa malu apabila anaknya menderita penyakit schizophrenia.

Yang lebih penting lagi, jangan berhenti berobat. Jangan meniru pengalaman yang aku alami, hanya memberi Chris obat, jika dia kambuh. Ini malah membuat penyakit itu semakin parah. Aku juga ingin media massa lebih mempublikasikan tentang schizophrenia pada masyarakat. Agar masyarakat tahu, jika segera diobati, sebenarnya schizophrenia bisa diminimalkan. Penderita pun paling tidak dapat menolong dirinya sendiri, tidak menyusahkan orang lain.

Bagaimana pun juga, pantaslah jika kita merasa hormat pada Susanti, ibu yang ketiga anaknya telah memasuki jenjang sukses. Kendati banyak himpitan yang dirasakannya sejak kecil, tidak mengurangi semangat dan ketabahannya dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh duri ini.

Kini, di rumahnya yang sederhana namun asri, perempuan yang telah penuh kerut-merut di wajahnya ini, merawat kakaknya. Kakak yang sudah 33 tahun menderita schizophrenia, penyakit yang oleh orang awam diidentikan dengan ?gila?, karena tidak dapat membedakan antara kehidupan yang nyata dengan halusinasi maupun delusi atau waham. Susanti tak perduli dengan stigma yang terbentuk di masyarakat, tentang penderita schizophrenia. Dia tidak akan menelantarkan atau memasukkan sang kakak ke rumah sakit jiwa, seperti yang banyak dilakukan masyarakat.

Penuh ketelatenan, ketulusan, dan kasih sayang, Susanti -nenek dari seorang cucu-merawat kakaknya, kendati semasa sehat sang kakak justru tampak tak menyayanginya. Yang jelas, sebagai adik satu-satunya, Susanti bertekad menjaga dan merawat kakaknya. Entah sampai kapan, apakah sampai akhir hayat sang kakak, atau malah sampai akhir hayatnya sendiri?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar