Minggu, 11 Januari 2009

BUKAN SUARA IBLIS

Skizofrenia adalah sejenis penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan dan halusinasi yang cenderung bersifat destruktif. Para penderitanya selalu merasa dihantui waham (pikiran-pikiran/prasangka yang salah dan bertentangan dengan dunia nyata, tidak berdasarkan logika), yang menjelma suara-suara gaib dalam kepalanya. Umumnya suara-suara itu menyuruh penderita melakukan sesuatu yang negatif dan mencelakakan diri sendiri atau orang lain.

Contoh paling gres kasus skizofrenia mungkin dapat dilihat pada peristiwa yang belum lama berselang terjadi di Bandung, di mana seorang ibu tega membunuh tiga orang anaknya. Dalam keterangannya kepada polisi, ibu ini mengaku, bahwa ada "suara-suara" yang memerintahkannya untuk membunuh anak-anaknya itu. Tentu saja, demi keadilan dan penegakan hukum, pernyataan sang ibu masih harus dibuktikan kebenarannya oleh para saksi ahli.

Skizofrenia tergolong penyakit jiwa yang parah dan tak bisa disembuhkan. Upaya pengobatan terhadap pasien melalui pemberian obat-obat penenang hanyalah untuk menenangkan (sementara)perasaan dan mengurangi kadar halusinasi pasien. Konon, belum pernah ada pengidap skizofrenia yang sembuh total. Jika pun ada yang "selamat", itu artinya penderita tersebut berhasil "berteman" dengan penyakitnya, dengan suara-suara gaib itu, dengan halusinasi-halusinasinya.

Seorang penderita skizofrenia, Lori Schiller, membukukan pengalamannya selama masa-masa sulit berjuang melawan penyakitnya ini. Bersama Amanda Bennet, reporter Wall Street Journal, ia menuturkan sepenggal riwayat hidupnya ke dalam buku berjudul The Quiet Room : A Journey Out of The Torment of Madness. Oleh penerbit Qanita, judul tersebut diubah menjadi The Voices of Demons : Suara-suara Iblis (Aneh juga, kalau memang diganti kenapa masih harus memakai judul dalam bahasa Inggris berikut bahasa Indonesianya).

The quiet room adalah sebuah ruang isolasi di rumah sakit tempat Lori pernah menjalani perawatan. Setiap kali "suara-suara gaib" itu menguasai dan membuat Lori kehilangan kendali atas dirinya, para dokter dan perawat akan memasukkannya ke ruang tersebut. Ia baru akan dikeluarkan lagi jika sudah tenang kembali.

Bertahun-tahun Lori menjalani perawatan dengan berbagai macam obat dan terapi. Mulanya, sebagaimana banyak dialami para penderita, Lori dan orang tuanya berkeras menolak kenyataan perihal betapa sakitnya Lori (fase pengingkaran). Mereka tak bisa percaya, bahwa Lori mereka yang manis, pandai, ceria, divonis sakit jiwa.

Terlebih lagi bila dihubungkan dengan kenyataan, bahwa keluarga Schiller adalah keluarga harmonis. Hubungan orang tua dan ketiga anak mereka terjalin hangat. Anak-anak Schiller tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari orang tua mereka. Mereka tumbuh dengan siraman kasih sayang dan limpahan materi.

Faktanya, penyakit Lori bukan disebabkan faktor eksternal (keluarga broken home), walaupun juga bukan tanpa sebab sama sekali. Ternyata setelah dirunut-runut, kecenderungan kelainan jiwa yang diderita Lori pernah juga dialami oleh nenek dan sepupu perempuannya dari pihak ibu. Agaknya, dalam kasus Lori skizofrenia bisa juga disebabkan faktor keturunan.

Sisi paling menarik dari kisah Lori ini ialah semangat juangnya yang tinggi dalam melawan penyakit serta keinginan yang kuat untuk dapat sembuh dan hidup normal kembali. Dukungan moril dari kedua orang tua serta adik-adiknya sangat besar bagi "kesembuhan" Lori. Juga upaya keras dan penuh kesabaran dari para dokter dan perawat rumah sakit mempercepat proses penyembuhan itu.

Untuk menyokong fakta-fakta dan juga membantu merangkai kronologis cerita yang tak semuanya mampu diingat kembali dengan baik oleh Lori, penuturan kisahnya disampaikan pula oleh orang-orang yang terlibat dan mengetahui riwayat penyakitnya : orang tuanya, adik-adiknya, sahabat karibnya, para dokter yang menangani kasusnya. Dari sini, pembaca bisa melihat masalah Lori melalui berbagai perspektif.

Seperti sering kita jumpai dalam kisah-kisah non fiksi (baca : kisah nyata), kesan subyektif terasa kuat sekali. Seolah ingin meyakinkan pembaca akan kebenaran ceritanya, tanpa sadar beberapa hal disampaikan berulang-ulang, sehingga tak jarang malah jadi membosankan. Belum lagi ditambah penggunaan bahasa dan istilah yang terasa terlalu ilmiah dan "kaku". Jika diringkas, membaca kisah Lori Schiller ini seperti menonton siaran talk show Oprah : berusaha menggugah simpati dan empati.

Namun, terlepas dari itu, buku ini cukup bermanfaat sebagai informasi ihwal seputar skizofrenia. Dari pengalaman Lori, kita bisa memetik pelajaran bagaimana sebaiknya menyikapi para penderita penyakit tersebut. Selain upaya medis, yang tak kalah penting adalah perhatian dan cinta yang tulus dari orang-orang terdeka

1 komentar:

  1. silahkan aja bilang itu hanya halusianasi. kalau hanya sekedar pendengaran sih, ya bolelah dibilang hanya halusinasi. tp bagaimana dengan visual,???. mungkinkah itu jg cuma halusinasi,????. mang nontonsulap,????. nda usah berlindung dibalik teori teori fiktif yg dibuat-buatlah. ini adalah kerjaan dukun dan anda anda adalah penikmatnya kan,???. orang-orang gila itu sengaja ditumbalkan jadi sapi perahan dan anda-anda ini jadi anjing penikmat penderitaan mereka kan,???. jadi penikmat setia tai mereka kan,???. udahlah,,,, dah basi teori teori semacam itu. munafik. mereka jg manusia yg punya hak asasi , dan perbuatan iblis semacam ini harus segera dihentikan

    BalasHapus